PEKANBARU, SERUJI.CO.ID – Permohonan penangguhan penahanan tiga dokter spesialis RSUD Arifin Achmad yang terjerat dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) telah diajukan oleh sejumlah asosiasi atau organisasi profesi. Namun, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru tetap menolak permohonan tersebut.
Sejumlah asosiasi atau organisasi profesi yang mengajukan permohonan penangguhan antara lain Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Bedah Indonesia (IKABI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk ketiga dokter RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Ketiga dokter yang dimaksud yaitu dr Welly Zulfikar SpB(K)KL, dr Kuswan Ambar Pamungkas, SpBP-RE, dan drg Masrial.
“Tidak ada alasan bagi kami untuk melakukan penangguhan penahanan,” kata Kepala Intelijen Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Ahmad Fuady di Pekanbaru, Kamis (6/12).
Saat ini, ketiga dokter tersebut ditahan Kejari Pekanbaru di Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru.
“Ketiga dokter itu tetap ditahan jaksa sampai berkas perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Pekanbaru,” kata Fuady.
Menurut Fuady, Kejari Pekanbaru telah berupaya melakukan koordinasi dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Uung Abdul Syukur terkait opsi penangguhan tersebut. Namun, ia mengatakan pihaknya tetap tidak akan melakukan penangguhan dan memperlakukan sama tersangka korupsi.
“Saat ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) sedang menggesa penyelesaian dakwaan untuk tersangka,” terangnya.
Selain tiga dokter, pada perkara itu jaksa penyidik juga menetapkan dua pengusaha sebagai tersangka, yakni Yuni Efrianti SKp selaku Direktur CV Prima Mustika Raya (PMR) dan mantan anak buahnya Mukhlis.
“Kita akan mempercepat pelimpahan (berkas) ke pengadilan. Insya Allah dalam minggu ini,” tuturnya.
Dalam proses penyidikan hingga menyandang status tersangka di Polresta Pekanbaru, kelima tersangka tidak ditahan. Meskipun mereka sudah berstatus tersangka sejak awal bulan Januari 2018 lalu.
Dalam perjalanannya, tiga dokter itu sempat mengajukan praperadilan terkait penetapan status tersangka. Namun, praperadilan itu ditolak oleh hakim pengadilan.
Dugaan korupsi ini berawal dari dianggarkannya pengadaan Alkes di RSUD Arifin Achmad Tahun Anggaran 2012/2013 senilai Rp5 miliar. Belakangan penegak hukum mencium sesuatu yang tidak beres pada salah satu bentuk kerjasama pengadaan alat itu, terutama kerjasama yang dijalin pihak rumah sakit dengan rekanan CV PMR.
Penyidik mendapati pengadaan Alkes tersebut tidak sesuai prosedur. Pihak rumah sakit menggunakan nama rekanan CV PMR untuk pengadaan alat bedah senilai Rp1,5 miliar.
Namun dalam prosesnya, justru pihak dokterlah yang membeli langsung alat-alat tersebut kepada distributor melalui PT Orion Tama, PT Pro-Health dan PT Atra Widya Agung, bukan kepada rekanan CV PMR.
Nama CV PMR diketahui hanya digunakan untuk proses pencairan, dan dijanjikan mendapat keuntungan sebesar lima persen dari nilai kegiatan. Atas perbuatan para tersangka, menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp420.205.222. Angka ini berdasarkan hasil audit yang dilakukan BPKP Riau.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal (3), jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU Nomor 20 tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (SR01)