JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Gelaran Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 yang akan digelar pada awal Oktober menyisakan pertanyaan, yaitu tentang urgensi Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tersebut.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon bahkan menyebut pemerintah telah gagal dalam menjawab pertanyaan penting dari publik itu. Kegagalan menjawab urgensi tersebut dinilai Fadli Zon menunjukkan Pemerintah tak lagi punya visi dan target atas gelaran acara yang menghabiskan dana trilyunan itu.
Hal itu disampaikan Fadli Zon dalam rangkaian twit panjang (kultwit) melalui akun Twitter miliknya, @fadlizon, Jum’at (28/9).
“Event Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 yang akan berlangsung di Bali awal Oktober nanti menunjukkan pemerintah telah gagal menjawab pertanyaan publik atas urgensi Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan event mahal tsb,” kata Fadli Zon dalam laman Twitternya.
1) Event Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 yg akan berlangsung di Bali awal Oktober nanti menunjukkan pemerintah telah gagal menjawab pertanyaan publik atas urgensi Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan event mahal tsb.
— Fadli Zon (@fadlizon) September 28, 2018
Ia menjelaskan bahwa menjadi tuan rumah pertemuan IMF-World Bank bukan sebuah bentuk penghargaan layaknya menjadi tuan rumah event olahraga akbar seperti Asian Games atau Olimpiade.
Apalagi, sambung Fadli, penunjukkan sebagai tuan rumah dilakukan setelah Indonesia mengajukan diri melalui bidding proposal
“Masalahnya, apa urgensinya kita mengajukan diri jadi tuan rumah event mahal tersebut? Ini agak berbeda dengan penyelenggaraan Asian Games atau Olimpiade yang jelas manfaatnya,” tulisnya.
Sejauh ini, kata Fadli, pemerintah hanya bicara tentang dampak terhadap pariwisata Bali dan sekitarnya, saat berbicara tentang acara tersebut.
Namun, jawaban itu dirasa Fadli sangat dangkal. Sebab, biaya teknis event tersebut menyedot anggaran hingga Rp 1 triliun. Sementara biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membangun infrastruktur pendukung mencapai Rp 4,9 triliun.
5) Biaya teknis event tsb menyedot anggaran sekitar Rp. 1 triliun, sementara biaya yg harus dikeluarkan negara untuk membangun infrastruktur pendukung mencapai Rp4,9 triliun.
— Fadli Zon (@fadlizon) September 28, 2018
“Kalau hanya untuk mempromosikan pariwisata Bali, atau Indonesia, itu jelas biaya promosi yang sangat mahal dan tak masuk akal,” tukasnya.
Fadli menilai, kecuali untuk kepentingan prestise beberapa elite di pemerintahan, pemerintah sebenarnya tak punya target yang jelas atas event yang menyedot anggaran hampir Rp 6 triliun tersebut.
“Memang, Menko Kemaritiman menyebut ada potensi investasi sebesar US$2-3 miliar atau sekitar Rp43,5 triliun bisa masuk ke Indonesia melalui pertemuan tersebut,” ujar Fadli.
Namun, Fadli menyebut proyeksi itu tidak akan efektif.
“Namanya saja cuma potensi, ujungnya biasanya tak terjadi apa-apa. Dana sebesar itu jauh lebih bermanfaat jika dialihkan untuk rehabilitasi Lombok dan Sumbawa atau hal-hal lain yg baik bagi masyarakat secara langsung,” ujarnya.
Penilaian pesimis Fadli cukup beralasan, ia menyebut pertemuan IMF-World Bank 2018 akan lebih banyak dihadiri oleh para birokrat pemerintahan, Non Governmental Organizations (NGOs), akademisi, dan kalangan media.
“Jadi, jangan bayangkan kegiatan ini mnjd semacam investor summit, sangat jauh,” kata Fadli.
Menurut Fadli, pertemuan itu bukan pertemuan para investor. Sehingga, proyeksi investasi yang ditargetkan terlalu berlebihan.
“Sehingga, proyeksi investasi yang muluk-muluk dari event ini menurut saya hanya bersifat apologetik saja, sekadar jadi dalih pembenar atas event mahal ini. Apalagi, agenda yang akan dibahas pun sangat luas, mulai dari ekonomi global, keamanan, hingga keuangan global,” imbuhnya.
Menurut Fadli, di tengah depresiasi nilai tukar rupiah, terus membengkaknya defisit transaksi berjalan, serta melebarnya potensi krisis, jika pemerintah hanya bisa bicara tentang pariwisata sesudah mengeluarkan biaya triliunan rupiah, ia khawatir pemerintah tak lagi punya visi dan target.
Fadli pun mengingatkan bahwa Indonesia mempunya pengalaman masa lalu yang buruk dengan IMF saat penanganan krisis moneter 1997/1998.
“Seharusnya kita punya sikap yang lebih kritis terhadap lembaga internasional tersebut, bukan sebaliknya. IMF adalah lembaga yang menyiram bensin di tengah api ketika krisis 1997/1998 di Indonesia,” tuturnya.
Ia pun menyindir, pada peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika tahun 2015 lalu, Presiden Jokowi pernah melontarkan kritik keras terhadap IMF dan World Bank. Kritik Presiden begitu keras.
Tapi, lanjut Fadli, menghadapi event Pertemuan IMF-World Bank 2018 di Bali nanti, kita telah kehilangan jejak atas kritik Presiden dua tahun lalu tersebut.
“Ini menunjukkan pemerintah sekarang memang tak punya ideologi ekonomi yang jelas. Inkonsistensi apa yang diucapkan dan apa yang dilaksanakan,” pungkasnya. (SR01)